oleh: Mustika Aji
Di era digital, informasi mengalir deras lewat media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform daring lainnya. Guru dan siswa kini memiliki akses luas ke pengetahuan dan kolaborasi global, memungkinkan pembelajaran lebih interaktif, kreatif, dan mendalam. Namun, akses tanpa literasi moral dan etika digital justru membawa risiko besar. Teknologi tidak pernah netral; ia mencerminkan karakter penggunanya. Jika moral dan adab tidak dibangun, digitalisasi bisa menjadi sarana merusak, bukan memberdayakan.
Kasus Nyata:
Di Kebumen, 199 siswa SMP dan SMA ditangkap karena terlibat demonstrasi anarkis yang merusak gedung DPRD setempat. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana pengaruh media sosial, informasi yang belum diverifikasi, dan tekanan kelompok dapat mendorong perilaku destruktif. Banyak remaja yang terjerumus bahkan tidak sepenuhnya memahami konsekuensi hukum maupun sosial, karena literasi moral mereka belum terbentuk.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa literasi digital saja tidak cukup. Remaja harus dibekali kemampuan berpikir kritis, menilai informasi, mengendalikan emosi, dan bertindak sesuai etika. Guru dan orang tua memiliki peran kunci agar teknologi menjadi alat bermanfaat, bukan pemicu masalah.
1️⃣ Informasi Mengalir Tanpa Batas
Smartphone dan media sosial memungkinkan siswa mengakses berita, opini, dan konten global dalam hitungan detik. Namun, kecepatan ini juga membuat mereka rawan terpapar hoaks, provokasi, dan konten destruktif. Tanpa literasi moral, mereka mudah mengikuti arus tanpa menimbang akibatnya.
2️⃣ Teknologi Memperkuat Karakter
Digitalisasi bisa menjadi alat positif bila digunakan bijak. Literasi digital memberi ruang eksplorasi ide dan kreativitas, sementara literasi moral memastikan setiap tindakan online tidak merugikan orang lain, melainkan memperkuat integritas pribadi.
3️⃣ Pengaruh Kelompok dan Psikologi Remaja
Remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman sebaya. Media sosial memperkuat efek ini melalui fenomena “viral” dan arus opini. Kasus Kebumen menjadi contoh nyata bagaimana lemahnya kontrol moral ditambah derasnya pengaruh digital bisa berujung pada perilaku merugikan massal.
1️⃣ Filter Informasi & Verifikasi Fakta
Ajarkan siswa untuk tidak langsung mempercayai atau menyebarkan berita. Setiap informasi perlu dicek kebenarannya, dibandingkan dengan sumber lain, lalu didiskusikan.
👉 Contoh praktik: sesi mingguan “detektif fakta” di sekolah, di mana siswa menilai berita hoaks vs. fakta dan membahas dampaknya.
2️⃣ Refleksi Moral Rutin
Biasakan evaluasi setiap tindakan digital: apakah bermanfaat atau justru merugikan?
👉 Contoh praktik: sesi “refleksi digital” mingguan, siswa menulis pengalaman online mereka lalu mendiskusikan keputusan yang lebih bijak.
3️⃣ Kolaborasi Positif & Pengendalian Diri
Dorong proyek digital yang memberi manfaat nyata: kampanye lingkungan, konten edukatif, atau kegiatan sosial. Ajarkan etika berdiskusi dan menahan diri dari provokasi.
👉 Contoh praktik: lomba kreasi konten positif di sekolah yang diunggah ke kanal resmi.
4️⃣ Peran Guru & Orang Tua sebagai Teladan
Guru harus mencontohkan penggunaan teknologi bijak, sedangkan orang tua mendampingi aktivitas digital anak di rumah. Kolaborasi bisa berupa seminar literasi digital, forum diskusi, atau panduan keluarga dalam menggunakan media sosial.
Generasi muda yang dibekali keduanya mampu:
Membuat keputusan bijak di dunia nyata maupun maya.
Mencegah perilaku destruktif yang membahayakan diri dan orang lain.
Memperkuat relasi sosial di sekolah maupun komunitas.
Mengoptimalkan teknologi untuk kolaborasi produktif dan kontribusi sosial.
📌 Contoh sukses: beberapa sekolah di Jawa Tengah telah mengintegrasikan literasi digital dan moral dalam kurikulum. Hasilnya, siswa lebih kritis dalam menanggapi berita, lebih aktif di proyek sosial, dan konflik akibat provokasi digital berkurang signifikan.
Kasus 199 siswa Kebumen menjadi cermin betapa pentingnya literasi digital yang dipadukan dengan pembinaan moral. Literasi digital tanpa moral berpotensi menghancurkan, sedangkan moral tanpa literasi digital membuat generasi muda gagap menghadapi derasnya arus informasi.
Integrasi keduanya akan melahirkan generasi cerdas, bijak, dan beradab, siap menghadapi tantangan zaman dengan akhlak mulia dan pemikiran kritis. Guru, orang tua, dan masyarakat harus bersinergi, memastikan pembelajaran mendalam tidak hanya mengasah kecerdasan, tetapi juga membentuk karakter.
✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
© 2025
Departemen Media dan Publikasi
YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN
Leave a Comment