School Info
Tuesday, 30 Sep 2025
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah" 🌙✨ Semoga dengan memperingati Maulid Nabi, kita semakin meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW, memperkuat iman dan ukhuwah, serta senantiasa mendapatkan keberkahan dalam setiap langkah dan amal. Aamiin. 🌸
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah" 🌙✨ Semoga dengan memperingati Maulid Nabi, kita semakin meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW, memperkuat iman dan ukhuwah, serta senantiasa mendapatkan keberkahan dalam setiap langkah dan amal. Aamiin. 🌸
23 September 2025

Pendidikan: “Hak Konstitusional yang Diperdagangkan”

Tue, 23 September 2025 Read 171x Artikel
0
0
Share this post

oleh: Mustika Aji

Konstitusi kita tegas menyatakan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (UUD 1945 Pasal 31). Bahkan, negara diwajibkan mengalokasikan minimal 20% APBN/APBD untuk pendidikan. Namun kenyataan di lapangan jauh dari amanat itu. Pendidikan kini kian menyerupai pasar bebas: orang tua berperan sebagai konsumen, sementara sekolah menjelma “penyedia jasa” yang sibuk menjual paket prestasi.

Baik negeri maupun swasta, logika pasar merasuk. Sekolah tampil bak showroom dengan brosur penuh jargon: unggulan, internasional, bilingual. Padahal ruang kelas tetap monoton, guru miskin inovasi. Fenomena ini disebut para pakar sebagai kapitalisasi pendidikan, hak dasar rakyat berubah menjadi komoditas.

Ketimpangan yang Nyata

Data menguatkan fakta tersebut. BPS (2024) mencatat Angka Partisipasi Murni SMA hanya 62%, artinya 4 dari 10 remaja usia SMA tak bersekolah formal. UNICEF (2023) menyebut 2,5 juta anak putus sekolah di semua jenjang. Sementara itu, World Bank (2022) melaporkan rumah tangga Indonesia menghabiskan 16% pengeluaran untuk pendidikan, beban lebih berat bagi keluarga miskin.

Di sisi lain, sekolah elite swasta mematok biaya masuk hingga ratusan juta rupiah, lengkap dengan kolam renang dan kurikulum Cambridge. Angka-angka ini menegaskan: akses pendidikan masih sangat ditentukan tebal-tipisnya dompet.

Negara Setengah Hati

Sekolah negeri hadir hampir di setiap kecamatan, tetapi kualitasnya timpang. Di kota, berdiri gedung modern dengan laboratorium canggih. Di pelosok, kelas reyot dengan atap bocor masih dijumpai. Guru pun lebih disibukkan tumpukan administrasi daripada pembelajaran kreatif.

Program “sekolah gratis” pun sering berhenti di slogan. SPP memang dihapus, tapi biaya seragam, buku, dan iuran komite tetap membebani. Gratis di kertas, bocor di dompet.

Sementara itu, sekolah rakyat yang seharusnya menyelamatkan anak miskin justru kerap berfungsi sebagai penampungan sosial ketimbang ruang belajar. Di ujung lain, sekolah “garuda”,istilah untuk sekolah favorit negeri maupun swasta bonafide, menawarkan fasilitas nyaris mewah dan menyiapkan anak-anak elite untuk panggung global.

Kontras inilah yang membelah pendidikan kita: yang miskin ditampung seadanya, yang kaya dimanjakan.

Swasta: Antara Idealisme dan Pasar

Sekolah swasta hadir sebagai alternatif, namun banyak yang terjebak dalam logika komersial. Mereka menjual citra premium dengan fasilitas AC dan Wi-Fi, tapi pedagogi tetap kering. Prestasi yang diklaim pun kerap hasil bimbingan atau latihan di luar sekolah. Pendidikan akhirnya direduksi menjadi lomba angka, sementara proses memerdekakan pikiran terabaikan.

Memang ada segelintir sekolah swasta idealis yang berpihak pada mutu dan anak-anak, tapi mereka minoritas di tengah arus besar kapitalisasi.

Guru yang Kelelahan

Guru adalah kunci kualitas pendidikan, tetapi kompetensi dan kesejahteraan mereka masih timpang. UKG 2021 mencatat nilai rata-rata nasional hanya 54,25, di bawah standar minimal. Guru honorer dan swasta bahkan banyak yang menerima gaji di bawah Rp1 juta per bulan.

Beban administrasi tinggi membuat guru kehilangan tenaga untuk berinovasi. Akibatnya, mutu pembelajaran tergerus, sementara cita-cita melahirkan Generasi Emas 2045 kian jauh.

Generasi Emas atau Perunggu?

Pejabat kerap mendengungkan mimpi “Generasi Emas 2045.” Namun realitasnya, kurikulum tambal-sulam, biaya pendidikan mencekik, dan jurang kualitas kian lebar. Jika hanya segelintir anak mampu membeli akses ke sekolah unggulan, maka mayoritas rakyat justru sedang digiring menjadi “generasi perunggu”, dibesarkan dalam ketimpangan struktural, dengan fasilitas terbatas dan guru yang kelelahan.

Tanpa koreksi serius, jurang kualitas ini akan jadi bom waktu: memperlebar kesenjangan sosial, memicu polarisasi, dan mengancam kemandirian bangsa.

Pendidikan Harus Direbut Kembali

Pendidikan sebagai hak dasar kini tergadaikan. Negeri, swasta, garuda, rakyat, semuanya terseret logika pasar. Kita harus kembali ke amanat konstitusi: pendidikan adalah hak, bukan dagangan.

Rekomendasi Pendidikan Berkeadilan

1. Reposisi Sekolah Rakyat Berasrama

  • Alih kelola dari Kementerian Sosial ke lembaga pendidikan yang profesional, misalnya Kemendikbud.
  • Kurikulum terintegrasi: literasi dasar, literasi digital, pendidikan karakter, dan keterampilan vokasional.
  • Tenaga pendidik diberi pelatihan intensif agar sekolah rakyat tidak sekadar menjadi penampungan sosial, tetapi ruang belajar bermutu.

2. Penguatan Sekolah Negeri

  • Pemerataan kualitas sekolah negeri melalui renovasi sarana prasarana di desa dan wilayah tertinggal.
  • Digitalisasi administrasi agar guru lebih fokus pada pengajaran.
  • Standarisasi kualitas pedagogik guru melalui continuous professional development.
  • Peningkatan insentif berbasis kompetensi dan capaian pembelajaran siswa, sehingga guru kompeten sekaligus sejahtera.

3. Regulasi dan Insentif Sekolah Swasta

  • Transparansi biaya serta standar mutu pedagogik wajib dipublikasikan, tidak hanya menonjolkan fasilitas dan citra.
  • Insentif fiskal (potongan pajak, subsidi operasional) bagi sekolah swasta yang menerima siswa miskin dan tetap menjaga kualitas pengajaran.
  • Audit independen berkala untuk mencegah kapitalisasi pendidikan berlebihan.

4. Pendanaan Berkelanjutan

  • Pembentukan Dana Abadi Pendidikan Nasional dan Daerah, dengan hasil investasi digunakan untuk:
    • Top-up gaji guru honorer dan guru swasta agar setara UMR.
    • Program pelatihan dan pengembangan profesional guru.
  • Skema ini menjamin keberlanjutan pendanaan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada iuran sekolah atau sumbangan sukarela orang tua.

5. Kolaborasi Masyarakat dan Dunia Usaha

  • Melibatkan komunitas lokal, yayasan, pesantren, dan korporasi melalui program filantropi, CSR, dan literasi desa.
  • Mendorong gerakan literasi kritis dan pendidikan karakter, agar pembelajaran tidak berhenti di ruang kelas formal.

6. Integrasi dengan Target Nasional “Generasi Emas 2045”

  • Seluruh kebijakan diarahkan untuk memastikan:
    • Akses pendidikan berkualitas yang merata.
    • Guru yang kompeten sekaligus sejahtera.
    • Anak-anak dari keluarga miskin tidak tertinggal.

Tanpa langkah konkret, mimpi Generasi Emas 2045 hanya akan menjadi slogan mahal, ramai di brosur sekolah, tapi sepi makna pembebasan.


✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)

Baca Artikel lainnya,

© 2025

Departemen Media dan Publikasi

YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN


Share this post
This article have

0 Comment

Leave a Comment