oleh: Mustika Aji
Konstitusi kita tegas menyatakan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (UUD 1945 Pasal 31). Bahkan, negara diwajibkan mengalokasikan minimal 20% APBN/APBD untuk pendidikan. Namun kenyataan di lapangan jauh dari amanat itu. Pendidikan kini kian menyerupai pasar bebas: orang tua berperan sebagai konsumen, sementara sekolah menjelma “penyedia jasa” yang sibuk menjual paket prestasi.
Baik negeri maupun swasta, logika pasar merasuk. Sekolah tampil bak showroom dengan brosur penuh jargon: unggulan, internasional, bilingual. Padahal ruang kelas tetap monoton, guru miskin inovasi. Fenomena ini disebut para pakar sebagai kapitalisasi pendidikan, hak dasar rakyat berubah menjadi komoditas.
Data menguatkan fakta tersebut. BPS (2024) mencatat Angka Partisipasi Murni SMA hanya 62%, artinya 4 dari 10 remaja usia SMA tak bersekolah formal. UNICEF (2023) menyebut 2,5 juta anak putus sekolah di semua jenjang. Sementara itu, World Bank (2022) melaporkan rumah tangga Indonesia menghabiskan 16% pengeluaran untuk pendidikan, beban lebih berat bagi keluarga miskin.
Di sisi lain, sekolah elite swasta mematok biaya masuk hingga ratusan juta rupiah, lengkap dengan kolam renang dan kurikulum Cambridge. Angka-angka ini menegaskan: akses pendidikan masih sangat ditentukan tebal-tipisnya dompet.
Sekolah negeri hadir hampir di setiap kecamatan, tetapi kualitasnya timpang. Di kota, berdiri gedung modern dengan laboratorium canggih. Di pelosok, kelas reyot dengan atap bocor masih dijumpai. Guru pun lebih disibukkan tumpukan administrasi daripada pembelajaran kreatif.
Program “sekolah gratis” pun sering berhenti di slogan. SPP memang dihapus, tapi biaya seragam, buku, dan iuran komite tetap membebani. Gratis di kertas, bocor di dompet.
Sementara itu, sekolah rakyat yang seharusnya menyelamatkan anak miskin justru kerap berfungsi sebagai penampungan sosial ketimbang ruang belajar. Di ujung lain, sekolah “garuda”,istilah untuk sekolah favorit negeri maupun swasta bonafide, menawarkan fasilitas nyaris mewah dan menyiapkan anak-anak elite untuk panggung global.
Kontras inilah yang membelah pendidikan kita: yang miskin ditampung seadanya, yang kaya dimanjakan.
Sekolah swasta hadir sebagai alternatif, namun banyak yang terjebak dalam logika komersial. Mereka menjual citra premium dengan fasilitas AC dan Wi-Fi, tapi pedagogi tetap kering. Prestasi yang diklaim pun kerap hasil bimbingan atau latihan di luar sekolah. Pendidikan akhirnya direduksi menjadi lomba angka, sementara proses memerdekakan pikiran terabaikan.
Memang ada segelintir sekolah swasta idealis yang berpihak pada mutu dan anak-anak, tapi mereka minoritas di tengah arus besar kapitalisasi.
Guru adalah kunci kualitas pendidikan, tetapi kompetensi dan kesejahteraan mereka masih timpang. UKG 2021 mencatat nilai rata-rata nasional hanya 54,25, di bawah standar minimal. Guru honorer dan swasta bahkan banyak yang menerima gaji di bawah Rp1 juta per bulan.
Beban administrasi tinggi membuat guru kehilangan tenaga untuk berinovasi. Akibatnya, mutu pembelajaran tergerus, sementara cita-cita melahirkan Generasi Emas 2045 kian jauh.
Pejabat kerap mendengungkan mimpi “Generasi Emas 2045.” Namun realitasnya, kurikulum tambal-sulam, biaya pendidikan mencekik, dan jurang kualitas kian lebar. Jika hanya segelintir anak mampu membeli akses ke sekolah unggulan, maka mayoritas rakyat justru sedang digiring menjadi “generasi perunggu”, dibesarkan dalam ketimpangan struktural, dengan fasilitas terbatas dan guru yang kelelahan.
Tanpa koreksi serius, jurang kualitas ini akan jadi bom waktu: memperlebar kesenjangan sosial, memicu polarisasi, dan mengancam kemandirian bangsa.
Pendidikan sebagai hak dasar kini tergadaikan. Negeri, swasta, garuda, rakyat, semuanya terseret logika pasar. Kita harus kembali ke amanat konstitusi: pendidikan adalah hak, bukan dagangan.
1. Reposisi Sekolah Rakyat Berasrama
2. Penguatan Sekolah Negeri
3. Regulasi dan Insentif Sekolah Swasta
4. Pendanaan Berkelanjutan
5. Kolaborasi Masyarakat dan Dunia Usaha
6. Integrasi dengan Target Nasional “Generasi Emas 2045”
Tanpa langkah konkret, mimpi Generasi Emas 2045 hanya akan menjadi slogan mahal, ramai di brosur sekolah, tapi sepi makna pembebasan.
✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
© 2025
Departemen Media dan Publikasi
YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN
Leave a Comment