oleh : Mustika Aji
Kamu menatap layar, merasa bebas memilih. Tapi kenyataannya? Kamu sudah dijebak. Freud menertawakan dari dalam kuburnya: libido yang diperturutkan, dorongan tersembunyi, menggerakkan tindakanmu lebih dari akal sehat. Klik, like, share, bukan pilihanmu, melainkan manifestasi hasrat yang dimanipulasi.
Politik digital tidak lagi soal debat, melainkan perang opini. Buzzer membanjiri timeline, kampanye viral menembus feed, dan hoaks dibungkus sedemikian rupa agar kamu ikut menelan dan menyebarkan. Machiavelli tersenyum getir: rakyat memang pion, kuasa berjalan lewat ketakutan dan janji palsu, bukan rasionalitas.
Ekonomi digital tak kalah brutal. Adam Smith pasti tersedak melihat self-interest disulap menjadi kerakusan algoritmik. “Tangan tak terlihat” kini menari di layar: algoritma menakar emosi, menjebak perhatian, dan menuntun keputusan kita. Kapitalisme algoritmik menyerbu setiap detik hidupmu, dari notifikasi kecil hingga komentar yang memancing kemarahan.
Fakta dan kebenaran terpojok di sudut sepi. Opini dan hoaks bercampur. Apa yang dulu kesesatan kini dipoles, dibungkus, dan dijual sebagai komoditas. Media sosial adalah pasar kata-kata raksasa; hitam tampak putih, kebusukan berbau harum. Algoritma bukan sekadar pedagang, ia eksekutor psikologis, memanen rasa takut, kecemasan, kesenangan, kecanduan, dan amarahmu untuk keuntungan.
Foucault akan menertawakanmu: kuasa tersebar, menempel pada setiap struktur, dari sekolah, rumah sakit, kantor, hingga tubuhmu sendiri. Ia menundukkan perilaku, membatasi imajinasi, tanpa perlu cambuk. Kamu patuh, sering tanpa sadar.
Mereka memakai strategi ala Nietzsche: bukan lagi soal nuklir, tapi tentang menguasai perhatian, membentuk persepsi, dan menaklukkan pikiran. Siapa yang mengendalikan narasi dan algoritma, dialah yang memegang keunggulan strategis. Politik, ekonomi, media, semuanya medan pertempuran tersembunyi, dan kamu berada di garis depan tanpa senjata.
Benang merahnya brutal: libido yang diperturutkan, kuasa yang menipu, kepentingan diri yang membabi buta, algoritma yang memanipulasi, strategi informasi ala Nietzsche, semua menyatu, menjerat manusia modern. Kamu merasa bebas, tapi dibelenggu. Merasa memilih, tapi diarahkan. Merasa berdaulat, tapi hanyalah pion dalam permainan kuasa lebih besar.
Ini bukan nostalgia intelektual pada Freud, Machiavelli, Adam Smith, Foucault, atau Nietzsche. Ini cermin yang menampar wajahmu: apakah kamu subjek sadar, atau bayangan yang digerakkan hasrat, kepentingan, algoritma, strategi, dan kuasa? Jawaban tidak ada di seminar atau ruang akademik. Jawaban menunggu di hidupmu sehari-hari, di layar yang terus menuntunmu.
Di tengah hiruk-pikuk digital, mungkin hanya satu jalan yang tersisa: menarik napas, mencabut paku manipulasi dari kepala, dan memberi ruang bagi sunyi. Hanya dengan hening, kita bisa membedakan mana cahaya sejati dan mana cat putih murahan.
✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
© 2025
Departemen Media dan Publikasi
YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN
Leave a Comment