“Selagi APBD 2026 Masih dalam Pembahasan”
oleh : Mustika Aji
Ada yang ganjil di banyak ruang pemerintahan kita: anggaran selalu habis, tapi rakyat tak kunjung merasakan hasilnya. Jalan rusak tetap berlubang, sekolah masih kekurangan ruang, pelayanan publik berjalan lambat, dan program kemasyarakatan sering berhenti di tengah jalan. Bukan karena kita kekurangan uang, melainkan karena uang publik belum dikelola dengan hati nurani efisiensi.
Di Kebumen, gejala itu terasa nyata. Setiap tahun, miliaran rupiah uang rakyat berputar di tangan pemerintah daerah dan DPRD, namun tidak seluruhnya kembali dalam bentuk pembangunan yang memberi makna bagi masyarakat. Banyak yang terserap untuk urusan rutin: rapat, perjalanan dinas, tunjangan, dan berbagai kegiatan administratif yang sering tak berbekas. Inilah paradoks besar birokrasi lokal: kita sibuk mengelola anggaran, tapi lupa menimbang makna pengelolaan itu sendiri.
Efisiensi sering dipahami semata-mata sebagai persoalan teknis, bagaimana menghemat, menekan biaya, atau mengurangi pos belanja. Padahal, lebih dari itu, efisiensi adalah soal moral dan politik. Ia menyentuh akar nilai: apakah pengelolaan uang publik benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar melayani kepentingan birokrasi? Di sinilah Kebumen harus berani berubah, bukan hanya dalam angka, tapi dalam cara berpikir dan bertindak.
Efisiensi Bukan Soal Angka, Tapi Soal Nilai
Kita sering mendengar kata efisiensi di ruang-ruang rapat pemerintah, namun jarang memaknai kedalamannya. Efisiensi sejati bukan sekadar penghematan, melainkan kejujuran dalam memprioritaskan yang penting. Ia adalah seni memilih: mana yang harus didahulukan demi kemaslahatan rakyat, dan mana yang bisa ditunda tanpa mengorbankan kepentingan publik.
Dalam konteks politik daerah, efisiensi adalah wujud tanggung jawab moral. Sebab, setiap rupiah yang dibelanjakan berasal dari keringat rakyat: dari pajak kecil pedagang pasar, retribusi petani, atau hasil kerja keras nelayan di pesisir. Maka, setiap pemborosan bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Kebumen perlu menjadikan efisiensi sebagai prinsip etis, bukan sekadar prosedur teknis. Ini berarti mengembalikan pengelolaan APBD pada orientasi dasarnya: kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Setiap pos anggaran seharusnya menjawab satu pertanyaan moral sederhana: Apakah ini benar-benar dibutuhkan rakyat? Jika jawabannya tidak, maka itu adalah pemborosan yang harus dihapus.
Birokrasi yang Gemuk, Rakyat yang Kurus
Masalah terbesar dalam pengelolaan keuangan daerah bukanlah kekurangan dana, melainkan cara pandang yang keliru. Banyak birokrasi daerah, termasuk di Kebumen, masih terjebak dalam paradigma lama: anggaran besar dianggap prestasi, bukan tanggung jawab. Padahal, ukuran keberhasilan bukan seberapa banyak uang dihabiskan, tetapi seberapa besar dampak yang dihasilkan.
Kita sering menyaksikan proyek kecil yang dibuat sekadar untuk menyerap anggaran, bukan untuk menciptakan perubahan. Rapat digelar hanya agar terlihat aktif, bukan untuk menyelesaikan masalah. Perjalanan dinas dilakukan agar anggaran terserap, bukan untuk membawa pulang gagasan baru. Inilah birokrasi yang gemuk tapi lemah: penuh aktivitas, tapi minim produktivitas.
Efisiensi menuntut keberanian untuk memangkas kebiasaan itu. Ia menghendaki pejabat publik yang siap kehilangan kenyamanan demi keberhasilan rakyat. Ia menuntut DPRD yang berani meninjau ulang anggarannya sendiri, bukan hanya mengawasi anggaran eksekutif. Sebab, bagaimana mungkin bicara pengawasan publik jika rumah sendiri masih boros?
Beberapa waktu lalu, publik Kebumen sempat dihebohkan oleh kabar rapat Badan Anggaran yang digelar di hotel bintang lima di Yogyakarta. Undangan rapat itu beredar di media sosial dan menuai kritik keras. Setelah ramai diperbincangkan, para peserta rapat dilaporkan pulang diam-diam, seolah sadar bahwa kemewahan itu mencederai rasa keadilan publik.
Yang lebih ironis, rapat-rapat seperti itu sering dilaksanakan di luar kota, bahkan di luar provinsi, dengan alasan “koordinasi” atau “konsolidasi.” Padahal publik tahu, di balik pemindahan lokasi itu ada indeks biaya yang lebih besar dan tentu saja tambahan per diem bagi peserta. Maka efisiensi pun berubah menjadi ilusi: uang rakyat tersedot bukan untuk kebutuhan pembangunan, melainkan untuk kenyamanan birokrasi.
Kita tidak sedang menolak rapat atau perjalanan dinas. Yang dipersoalkan adalah niatnya: apakah kegiatan itu sungguh dibutuhkan, atau sekadar cara halus untuk membenarkan pemborosan? Di sinilah moral politik diuji: apakah jabatan digunakan untuk melayani rakyat, atau untuk melayani kenyamanan diri sendiri.
Ketika Rakyat Hanya Dilibatkan di Awal
Ketika perencanaan disusun, rakyat diajak bermusyawarah dari tingkat dusun hingga musrenbang kabupaten. Mereka diminta menyampaikan aspirasi, mengusulkan program, bahkan berharap. Namun begitu tiba saatnya membagi kue anggaran, rakyat ditinggalkan.
Anggaran daerah baru dibuka setelah disahkan, itu pun hanya dalam bentuk ikhtisar. Saat masih rancangan, jangankan ikut menimbang, mendengarnya pun tidak. Transparansi berhenti di panggung musyawarah; setelah itu, segalanya kembali menjadi urusan elite.
Padahal, partisipasi sejati bukan sekadar mengundang warga dalam forum, melainkan memberi ruang agar suara mereka benar-benar ikut menentukan arah kebijakan. Rakyat tidak butuh formalitas musyawarah, mereka butuh bukti bahwa aspirasi mereka hidup dalam angka anggaran. Efisiensi tanpa transparansi hanyalah ilusi; efisiensi sejati hanya mungkin tumbuh di bawah cahaya keterbukaan.
Efisiensi Sebagai Jalan Etika dan Akal Sehat
Dalam akar filosofinya, efisiensi lahir dari perpaduan antara akal sehat dan moralitas. Akal sehat mengatakan: sumber daya terbatas, maka harus digunakan sebaik mungkin. Moralitas mengatakan: yang terbatas itu harus diarahkan kepada yang paling membutuhkan. Jika dua hal ini bersatu, lahirlah tata kelola publik yang bijaksana.
Namun, dalam praktik politik daerah, akal sehat sering dikalahkan oleh kepentingan sesaat. Banyak keputusan anggaran tidak lagi berbasis kebutuhan, melainkan kompromi politik. Proyek dipilih bukan karena prioritas publik, tetapi karena kepentingan kelompok. Padahal, efisiensi sejati hanya lahir dari keberanian untuk menolak yang tidak perlu, meski secara politik tidak populer.
Kebumen perlu memimpin gerakan moral ini. Sebab, efisiensi bukan hanya soal sistem, tapi soal keberanian batin: berani berkata tidak pada pemborosan, tidak pada kemalasan birokrasi, dan tidak pada kepentingan pribadi. Inilah esensi dari politik yang beradab, politik yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kenyamanan pejabat.
Langkah-Langkah Menuju Efisiensi Berbasis Nilai
Ada empat arah besar yang bisa ditempuh jika Kebumen sungguh ingin berubah:
Efisiensi dalam Kesadaran, bukan Sekadar Aturan.
Pendidikan birokrasi harus mengembalikan nilai etika dalam pengelolaan keuangan. Setiap pejabat perlu dididik untuk berpikir “nilai”, bukan hanya “angka”. Setiap rupiah yang keluar harus memiliki makna sosial.
Transparansi sebagai Kebajikan, bukan Formalitas.
Publik berhak tahu ke mana uang mereka mengalir. Transparansi bukan ancaman bagi pemerintah, tetapi pelindung bagi integritasnya. Jika masyarakat dilibatkan, efisiensi akan menjadi budaya, bukan paksaan.
Prioritas untuk Pelayanan Dasar.
Efisiensi berarti mengalihkan energi birokrasi dari yang rutin ke yang esensial: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur rakyat. Jika anggaran terserap untuk hal-hal yang benar, rakyat akan melihat hasilnya, bukan hanya laporan serapan.
Sederhanakan Proses, Hilangkan Simbolisme.
Banyak pemborosan terjadi bukan karena niat jahat, tapi karena terlalu banyak simbol dan prosedur yang tidak perlu. Efisiensi berarti berani memotong rantai panjang birokrasi dan menggantinya dengan sistem yang cepat, transparan, dan akuntabel.
DPRD dan Pemerintah: Cermin atau Bayangan?
Efisiensi tidak akan pernah lahir jika DPRD dan pemerintah daerah tidak memulainya dari diri sendiri. Anggaran DPRD yang besar seharusnya sejalan dengan kinerja yang berdampak, bukan hanya aktivitas seremonial. Jika dewan ingin dihormati, maka hormatilah uang rakyat dengan bekerja lebih banyak, bukan membelanjakan lebih besar.
Begitu pula pemerintah daerah: efisiensi bukan berarti menekan pegawai, tapi menata ulang orientasi kerja. ASN harus dibimbing untuk bekerja efektif, bukan sekadar hadir. Jabatan harus diisi oleh mereka yang berani mengabdi, bukan hanya mengisi kursi.
Kebumen punya kesempatan emas untuk menjadi contoh. Jika DPRD dan pemerintah mampu mempraktikkan efisiensi sebagai moral politik, mereka tidak hanya menghemat anggaran, tetapi juga mengembalikan kepercayaan rakyat yang selama ini hilang perlahan.
Efisiensi dan Harapan Rakyat
Di tengah mahalnya harga hidup, rakyat tidak menuntut banyak. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya pelayanan yang layak, fasilitas publik yang berfungsi, dan pemerintahan yang jujur. Itulah makna efisiensi yang paling sederhana: memastikan bahwa setiap rupiah uang rakyat benar-benar kembali kepada rakyat.
Efisiensi bukan semata strategi ekonomi, melainkan bentuk cinta kepada keadilan sosial. Ia adalah cara pemerintahan membalas kepercayaan rakyat tanpa perlu janji besar. Setiap kebijakan efisien adalah doa yang dijawab dengan kerja nyata.
Penutup: Saatnya Kebumen Menjadi Teladan
Kebumen berdiri di persimpangan sejarah: antara melanjutkan rutinitas yang boros, atau berani menata ulang paradigma pengelolaan uang publik. Pilihan ini bukan hanya soal teknokrasi, tetapi soal moralitas politik. Apakah kita ingin dikenang sebagai generasi yang menghabiskan uang rakyat, atau generasi yang mengembalikan marwah pemerintahan kepada rakyat?
Efisiensi adalah ujian kejujuran. Ia menyingkap siapa yang benar-benar melayani, dan siapa yang hanya bersembunyi di balik jabatan. Jika Kebumen berani memilih jalan efisiensi, jalan yang sulit tapi benar, maka ia tak hanya akan hemat anggaran, tapi juga kaya martabat.
Saatnya Kebumen berani berubah. Bukan karena tekanan, tapi karena kesadaran. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena ingin menepati janji: bahwa uang rakyat harus kembali kepada rakyat, dalam bentuk pembangunan yang nyata dan pemerintahan yang berintegritas.
“Efisiensi bukan soal hemat, tapi soal hormat-hormat kepada rakyat, kepada amanah, dan kepada masa depan.”
Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
© 2025
Departemen Media dan Publikasi
YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN
Leave a Comment