School Info
Saturday, 01 Nov 2025
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2025" 🇮🇩✨ "Semoga semangat para santri dalam mencintai agama dan tanah air terus menginspirasi kita untuk berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan menebar keberkahan di setiap langkah." Aamiin. 🌸
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2025" 🇮🇩✨ "Semoga semangat para santri dalam mencintai agama dan tanah air terus menginspirasi kita untuk berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan menebar keberkahan di setiap langkah." Aamiin. 🌸
27 October 2025

Dapur Sehat, Bangsa Sakit

Mon, 27 October 2025 Read 52x Artikel
1
0
Share this post

Catatan tentang kemandirian pangan yang tersesat di jalan pembangunan

✍️ Oleh Mustika Aji

Program MBG (Makan Bergizi Gratis) memang tampak indah. Dapurnya sehat, makanannya sehat, anak-anak pun kenyang. Tapi di balik keindahan itu, ada potensi bahaya yang sering diabaikan: inflasi yang harus ditanggung seluruh rakyat.

Harga beras, telur, sayur, dan buah naik. Akhirnya, GPM (Gerakan Pangan Murah) turun tangan menggunakan uang negara untuk menutup dampak dari MBG. Satu program berjalan, program lain dipaksa menambal efeknya. Uang publik berputar di sirkuit yang aneh, subsidi menutup subsidi.

MBG berjalan baik, tapi realitasnya petani dan peternak lokal hanya menjadi penonton. Uang miliaran rupiah mengalir deras ke luar daerah untuk memenuhi kebutuhan dapur MBG. Kita surplus karbohidrat, beras dan jagung melimpah, tapi defisit protein nabati, hewani, dan bumbu dapur. Sayur, buah, susu, telur, minyak, bawang merah, bawang putih, merica, ketumbar, dan banyak bahan dasar lain justru datang dari luar daerah.

Kita memang kenyang, tapi belum berdaulat di atas piring sendiri. Ironisnya, dapur-dapur MBG sibuk memasak demi “anak-anak bergizi”, sementara para petani dan peternak lokal hanya bisa menonton dari tepi sawah dan kandang. Ladang kita subur dan hijau, namun dapur MBG justru memilih bahan dari luar daerah.

Slogan “kemandirian pangan” hanya terdengar di pidato. Kenyataannya, dapur bergizi kita justru membiayai produk luar: wortel, selada, daun bawang, bawang merah, bawang putih, buncis, dan kol, semuanya dibeli dari luar daerah, bukan dari petani sendiri.

Sayur kacang panjang, sayur nangka, sayur melok, pelan-pelan ditinggalkan dan dicap “selera desa.” Anak-anak kita terlanjur tidak suka makanan lokal karena selera mereka kini mengabdi pada resep kapitalis global.

Lidah anak-anak sekarang sudah terbiasa dengan cita rasa impor. Lidah mereka kini seperti lidah orang Cina, Korea, Eropa, dan Jepang, padahal masih memakai kartu pelajar Indonesia. Entah hasil didikan siapa, hingga kata “mandiri” dan “berdaulat” hanya tinggal materi pelajaran yang tak lagi punya makna di dapur, pasar, dan meja makan kita.

Disorientasi Kebijakan: Hulu–Hilir yang Tak Nyambung

Di sisi lain, digelontorkan pula program ketahanan pangan di setiap desa, minimal 20% dari Dana Desa, atau hampir 90 miliar rupiah di tingkat kabupaten. Sayangnya, program ini berada di rel yang berbeda dengan MBG dan GPM. Hulu dan hilir ketahanan pangan berjalan sendiri-sendiri: tanpa jembatan, tanpa arah, tanpa satu peta jalan yang utuh.

Akibatnya, ketahanan pangan hanya jadi cerita yang sulit dirangkai. Desa bergerak sendiri, dapur MBG berlari sendiri, GPM menambal di belakang. Yang seharusnya menjadi ekosistem pangan terpadu malah berubah menjadi proyek yang saling menegasikan.

Pejabat yang Sibuk Pidato, Lupa Mengatur

Di atas semua itu, pejabat tingginya sibuk berpidato, lupa bahwa tugasnya bukan bicara, tetapi mengatur dan menyatukan langkah. Kepala dinas asyik dengan tupoksinya sendiri, merasa dinasnya paling penting, paling berjasa, paling “ujung tombak.” Padahal, semua prakarsa dan niat baik tak saling terhubung. Program tak nyambung, data tak sinkron, dan strategi tak terarah. Akibatnya, yang menguap bukan cuma niat baik, tapi juga uang daerah.

Dalam peperangan, seribu pasukan hebat bisa saling bunuh bukan karena musuh kuat, tetapi karena tak ada konduktor dan manajer yang mampu memimpin orkestra kekuatan itu. Begitulah wajah pembangunan hari ini: banyak gerak, tapi tanpa arah.

Kedaulatan yang Gugur di Jiwa Anak Bangsa

Namun yang paling menyedihkan, kita tak hanya defisit pangan, kita juga telah defisit kemandirian. Kedaulatan telah gugur pelan-pelan, bukan di ladang atau di pasar, melainkan di jiwa dan rasa anak-anak kita.

Para penjajah tak perlu lagi datang ke sini; cukup memproduksi dan mengiklankan. Konsumennya? Anak-anak kita sendiri. Pikiran, gaya hidup, dan selera mereka sudah disiapkan dari jauh, hingga tanpa sadar mereka menjadi pasar yang tunduk sebelum sempat menjadi bangsa yang berdaulat.


✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)

Baca Artikel lainnya,


Share this post
This article have

0 Comment

Leave a Comment