oleh: Mustika Aji
Di era pembelajaran mendalam, peran kepala sekolah dan guru bergeser dari sekadar pengatur atau pemberi instruksi menjadi fasilitator, kolaborator, motivator, sekaligus pembimbing. Relasi guru–siswa kini lebih setara, kolaborasi antar guru semakin luas, dan interaksi dengan masyarakat semakin intens. Perubahan ini membuka peluang besar untuk menciptakan ekosistem sekolah yang produktif, kreatif, dan inklusif.
Namun, potensi tersebut hanya akan terwujud jika etika dan adab menjadi fondasi setiap interaksi. Relasi dan kolaborasi tanpa adab berisiko melahirkan konflik, kesalahpahaman, bahkan perilaku destruktif. Nilai moral, tata krama, dan kesadaran diri bukanlah pelengkap, tetapi penentu keberhasilan pembelajaran mendalam itu sendiri.
Jika etika dan adab diabaikan, dampaknya bisa sangat merugikan:
Berkurangnya rasa hormat terhadap guru dan kepala sekolah,
Meningkatnya konflik antar siswa maupun guru,
Menurunnya kepedulian sosial,
Munculnya perilaku destruktif,
Terganggunya iklim belajar yang kondusif.
Risiko ini menegaskan betapa pentingnya integrasi adab dalam setiap interaksi di sekolah.
Sayangnya, dalam berbagai pelatihan pembelajaran mendalam, fokus utama masih pada konsep, strategi, metode, teknik, dan teknologi. Aspek moral, adab, dan tata krama, yang justru menjadi kunci keberhasilan relasi guru–siswa, kolaborasi guru, serta hubungan dengan masyarakat, belum dibahas secara luas dan mendalam.
Padahal, pembelajaran mendalam tidak hanya menuntut penguasaan konten atau kemampuan berpikir kritis. Ia juga menuntut kecerdasan emosional, kesadaran diri, dan etika interaksi sosial. Tanpa fondasi ini, strategi pembelajaran canggih sekalipun bisa gagal mencapai tujuan: menciptakan ekosistem sekolah yang harmonis, beradab, dan produktif.
SMPIT Logaritma Karanganyar menjadi contoh bagaimana etika dan adab dapat diintegrasikan dalam pembelajaran mendalam. Sekolah ini menggunakan kitab klasik Ta‘lim Muta‘alim sebagai panduan moral yang relevan dengan konteks modern.
Beberapa praktik penting yang dijalankan antara lain:
Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing tanpa mendominasi, menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab siswa.
Siswa dibiasakan menghargai guru dan teman, bersikap sopan, serta menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Kolaborasi diarahkan untuk membangun dan memberi manfaat, bukan sekadar mencari kemenangan kelompok.
Refleksi moral rutin dilakukan agar setiap tindakan dievaluasi dari perspektif etika dan adab.
Hasilnya, meski relasi semakin setara dan kolaborasi semakin luas, harmonisasi tetap terjaga. Budaya sekolah tumbuh lebih produktif, karakter siswa dan guru berkembang seimbang, dan pembelajaran mendalam berjalan efektif karena kecerdasan dipadukan dengan adab.
🔹 Untuk Siswa
Hargai guru, teman, dan semua pihak di sekolah.
Ikuti pembelajaran dengan sopan, terbuka, dan bertanggung jawab.
Kembangkan kesadaran diri dalam setiap tindakan, baik di kelas maupun saat kolaborasi.
🔹 Untuk Guru
Jadilah teladan dalam etika dan adab.
Fasilitasi pembelajaran dengan membimbing, bukan mendominasi.
Dorong kolaborasi sehat serta lakukan refleksi moral rutin bersama siswa.
🔹 Untuk Kepala Sekolah
Bangun budaya sekolah yang beradab dan harmonis.
Pastikan program pembelajaran mendalam selalu mengintegrasikan nilai moral.
Berikan ruang bagi guru dan siswa untuk mengevaluasi perilaku dan melatih kolaborasi sehat.
Pembelajaran mendalam bukan hanya soal menguasai konsep dan teknik, melainkan juga membangun karakter melalui etika dan adab. Tanpa kesadaran moral, relasi setara dan kolaborasi luas justru rawan konflik. Dengan menjadikan adab dan etika sebagai fondasi, ekosistem sekolah akan tumbuh harmonis, produktif, dan beradab, melahirkan generasi yang cerdas sekaligus berkarakter.
✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
© 2025
Departemen Media dan Publikasi
YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN
Leave a Comment