Oleh Mustika Aji
Di Hari Guru, kita biasanya sibuk mengulang slogan: “Guru adalah pelita bangsa.” Tapi di luar panggung seremonial, ada kenyataan getir yang jarang disentuh: sebagian besar pelita itu bekerja di sekolah swasta, dan justru merekalah yang paling sering dibiarkan redup.
Kesejahteraan: Ketika Dedikasi Dibayar Murah
Mari bicara jujur. Banyak guru swasta hidup di batas wajar. Gaji setara uang jajan mahasiswa, jam mengajar penuh, beban administratif tebal, tunjangan minim, dan keamanan kerja tidak jelas. Ironisnya, sebagian sekolah swasta justru mengandalkan “ikhlas” guru untuk menutupi kelemahan sistem finansial lembaga.
Guru swasta itu bukan relawan. Mereka pekerja profesional yang seharusnya mendapatkan penghargaan selayaknya. Tidak ada alasan muluk: kualitas pendidikan tidak akan terangkat kalau mereka terus didorong bekerja dalam kondisi bertahan hidup.
Profesionalisme: Tuntutan Tinggi, Modal Sendiri
Di banyak sekolah swasta, tuntutan profesionalisme setara sekolah unggulan, tapi fasilitasnya kadang kalah dengan ruang rapat kantor desa. Pelatihan? Seringnya guru harus bayar sendiri. Sertifikasi? Ribet. Dukungan kelembagaan? Tipis.
Jadi guru kreatif itu bagus. Tapi meminta kreativitas tanpa memberi fasilitas itu namanya bukan manajemen, tapi ekspektasi kosong.
Lebih pedihnya: ketika mutu sekolah menurun, gurunya yang disalahkan duluan.
Perlindungan: Paling Mudah Diputus, Paling Sulit Dibela
Guru swasta hidup dalam ruang paling rapuh. Status kepegawaian tidak kuat, kontrak bisa diputus kapan saja, dan konflik dengan orang tua murid bisa langsung membuat mereka “diminta istirahat”. Banyak sekolah tidak punya SOP perlindungan guru, kalau ada masalah, guru berdiri sendirian.
Belum lagi risiko hukum, tekanan lembaga, atau ancaman laporan orang tua yang merasa “pembeli layanan pendidikan”. Padahal guru bukan kasir yang harus menerima semua komplain. Mereka pendidik, profesi yang harus dilindungi, bukan dipajang sebagai tumbal tiap kali sekolah goyah.
Masalahnya Bukan Semata Lembaga, Sistemnya Memang Cacat
Tidak semua sekolah swasta “pelit pada guru”. Banyak yang justru berjuang mati-matian. Tapi jelas ada masalah struktural: skema pendanaan negara yang timpang, ketergantungan pada iuran murid, regulasi yang tidak berpihak, dan standar ganda antara sekolah negeri dan swasta.
Negara masih memperlakukan sekolah swasta seperti “penyedia layanan alternatif”, padahal 40% lebih anak Indonesia dititipkan pada mereka. Ini bukan alternatif. Ini tulang punggung.
Kenapa Ini Penting?
Karena wajah pendidikan Indonesia bukan ditentukan oleh sekolah negeri saja. Kualitas guru swasta adalah kualitas masa depan bangsa. Mereka butuh:
Tanpa itu, kita hanya mengulang kemunafikan publik: memuja guru, tapi membiarkan kesejahteraannya karam.
Penutup: Hormati Mereka Secara Nyata
Mengungkapkan terima kasih pada guru itu baik. Tapi menghormati guru swasta secara nyata jauh lebih penting. Mereka sudah lama menopang pendidikan Indonesia tanpa sorotan, tanpa jaminan, dan tanpa perlindungan. Saatnya negara, lembaga, dan masyarakat berhenti pura-pura tidak tahu.
Guru swasta bukan pelengkap. Mereka fondasi. Dan fondasi tidak boleh retak. Kalau retak, runtuhlah seluruh bangunan pendidikan.
Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
Leave a Comment