School Info
Saturday, 13 Dec 2025
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2025" 🇮🇩✨ "Semoga semangat para santri dalam mencintai agama dan tanah air terus menginspirasi kita untuk berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan menebar keberkahan di setiap langkah." Aamiin. 🌸
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2025" 🇮🇩✨ "Semoga semangat para santri dalam mencintai agama dan tanah air terus menginspirasi kita untuk berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan menebar keberkahan di setiap langkah." Aamiin. 🌸
8 December 2025

Membangun Budaya Komunikasi Sehat antara Sekolah, Komite, dan Wali Murid

Mon, 8 December 2025 Read 23x Artikel
Share this post

📘 Seri Sekolah Partisipatif #38

oleh : Mustika Aji

Di banyak sekolah, masalah besar sebenarnya bukan soal kurikulum, bukan soal sarana, bahkan bukan soal pendanaan tetapi soal komunikasi yang tidak pernah matang. Informasi terlambat, pesan disampaikan setengah-setengah, nada bicara tidak dijaga, dan dialog hanya muncul ketika ada persoalan.

Akibatnya hubungan sekolah komite wali murid sering diwarnai salah paham, saling menebak, atau bahkan saling curiga. Padahal kalau ditelusuri, hampir semua kekacauan itu lahir bukan dari buruknya niat, melainkan dari komunikasi yang tidak sehat.

Sekolah sering berbicara dengan gaya satu arah: sekolah mengumumkan, orang tua mendengarkan. Komite dipanggil ketika ada urusan administratif, tetapi tidak pernah diajak merumuskan keputusan. Wali murid menerima pengumuman lewat WA tanpa konteks, lalu ketika muncul keberatan, sekolah kaget dan merasa orang tua “tidak paham.” Dalam relasi seperti ini, wajar jika partisipasi sulit tumbuh; sebab komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan justru berubah menjadi tembok.

Masalah lain muncul dari cara sekolah menyampaikan pesan. Banyak sekolah tidak sadar bahwa tone itu penting. Kalimat yang sebenarnya informatif bisa berubah menjadi tekanan hanya karena gaya penyampaiannya kaku dan memerintah. Undangan rapat yang berbunyi “wajib hadir” atau pengumuman yang diawali ancaman halus sudah cukup membuat wali murid merasa tidak dihormati. Sekolah ingin disiplin, tapi orang tua menangkapnya sebagai perintah. Ketika rasa tidak nyaman muncul, hubungan akan pelan-pelan menjauh.

Di sisi lain, kurangnya transparansi juga membuat komunikasi rentan disalahpahami. Ketika sekolah jarang memberikan informasi, ruang kosong itu diisi oleh gosip. Ketika alasan sebuah kebijakan tidak dijelaskan, orang tua mengisi sendiri dengan dugaan. Dan dugaan sering kali jauh lebih liar daripada kenyataan. Padahal menjaga transparansi tidak perlu rumit: laporan sederhana, penjelasan kebijakan, dan alur informasi yang konsisten sudah cukup untuk meredam kecurigaan dan menjaga kepercayaan.

Komunikasi yang sehat membutuhkan ritme. Sekolah tidak bisa hanya menghubungi wali murid ketika ada masalah atau ketika ada agenda mendesak. Komunikasi harus hadir secara rutin—singkat, jelas, hangat, dan apa adanya. Kabar baik tentang anak, cerita kecil dari kelas, atau perkembangan proyek sekolah dapat menjadi jembatan emosional yang sangat kuat. Wali murid akan merasa dilibatkan, bukan sekadar diberi tahu.

Relasi juga perlu ruang dialog yang manusiawi. Tidak semua persoalan harus dibahas dalam forum rapat besar yang kaku. Banyak hal jauh lebih mudah diselesaikan lewat diskusi kecil, temu orang tua yang santai, atau forum kelas yang hangat. Ketika wali murid merasa aman untuk bercerita dan tidak takut dihakimi, hubungan menjadi lebih jujur dan partisipasi lebih mengalir.

Dalam era digital, komunikasi seharusnya lebih mudah, tetapi justru sering lebih kacau. Grup WA yang tidak terkelola bisa menjadi sumber konflik: pesan menumpuk, nada tulis tidak jelas, miskomunikasi terjadi, dan emosi merembet kemana-mana.

Sekolah perlu membangun etika komunikasi digital jam komunikasi, admin yang jelas, pesan yang ringkas dan padat agar percakapan di grup benar-benar menjadi jembatan informasi, bukan ladang konflik.

Komunikasi adalah jantung sekolah partisipatif. Tanpa komunikasi yang sehat, komite akan kehilangan arah, wali murid merasa tidak dihargai, dan guru kelelahan menghadapi kebingungan para orang tua. Tetapi ketika sekolah berbicara dengan hati, komite membuka diri; ketika wali murid dihormati, mereka berubah menjadi mitra; dan ketika dialog berjalan dengan jujur, sekolah menjadi rumah belajar bagi semua.

Sekolah yang hebat bukan hanya sekolah yang pintar mengajar, tetapi sekolah yang mampu menjaga hubungan antar-manusia di dalamnya. Karena pendidikan bukan soal dokumen dan rapat, tetapi soal kepercayaan yang dibangun dari kata demi kata yang disampaikan dengan hati.

——————————————————————————————————————–

📖 Disarikan dari Seri Sekolah Partisipatif, Kemitraan Sekolah & Wali Murid, karya Mustika Aji & Tim Guru Bina Insani (Yayasan Bina Insani Kebumen, 2025).

Baca Artikel lainnya,


Share this post
This article have

0 Comment

Leave a Comment