Seri Sekolah Partisipatif #37
oleh : Mustika Aji
Hubungan sekolah dan wali murid adalah fondasi yang menentukan tumbuh atau tidaknya anak. Dua dunia, rumah dan sekolah seharusnya saling menopang, saling menguatkan, dan saling memahami. Namun kenyataannya, di banyak tempat, relasi ini rapuh dan renggang.
Sekolah merasa wali murid tidak peduli, sementara wali murid merasa sekolah terlalu kaku atau menuntut. Kadang sekolah hanya bicara saat ada masalah, dan wali murid pun hanya muncul saat diminta. Hubungan pun berjalan dingin, sekadar kewajiban.
Relasi yang sehat tidak lahir dari rapat formal atau undangan yang kaku. Relasi tumbuh dari rasa dihargai, dari komunikasi yang hangat, dan dari kebiasaan sekolah mengajak wali murid bukan sebagai penonton, tetapi sebagai mitra belajar.
Ketika sekolah selalu menghubungi orang tua hanya saat ada masalah anak terlambat, berkelahi, atau tidak mengerjakan tugas orang tua perlahan mengasosiasikan sekolah sebagai sumber kabar buruk. Setiap pesan terasa seperti teguran, bukan ajakan untuk membangun kebaikan bersama.
Nada komunikasi sekolah sering menjadi akar kekakuan ini. Kalimat yang berniat informatif berubah menjadi tekanan hanya karena pemilihan diksi yang dingin: “Wajib hadir”, “Segera dipenuhi”, atau “Jika tidak hadir akan…”.
Tanpa bermaksud buruk, sekolah sering memakai bahasa instruktif yang membuat wali murid merasa kecil. Padahal ketika sekolah mengganti nadanya menjadi lebih manusiawi. “Kami butuh pandangan panjenengan”, “Mari kita diskusikan demi kebaikan anak” respon orang tua berubah drastis. Mereka merasa dihormati, bukan diperintah.
Perbedaan dunia sekolah dan dunia rumah juga sering menjadi sumber miskomunikasi. Guru bicara kurikulum, penilaian, dan disiplin, sementara wali murid bicara realitas sehari-hari: pekerjaan, ekonomi, dan tekanan hidup. Ketika dua dunia ini tidak dijembatani, nilai yang diajarkan di kelas sering jatuh di luar pagar sekolah.
Anak justru mendapat pesan yang berbeda antara sekolah dan rumah. Maka sekolah perlu menjelaskan dengan bahasa sederhana apa yang dipelajari anak, kebiasaan apa yang perlu diperkuat di rumah, dan langkah kecil apa yang bisa orang tua lakukan untuk mendukung proses belajar.
Untuk memperkuat relasi, sekolah harus menyediakan ruang dialog yang aman. Banyak orang tua datang ke sekolah dengan pengalaman buruk: ditegur, dipermalukan, atau dianggap tidak peduli. Mereka jadi segan untuk berbicara jujur. Maka sekolah perlu menciptakan forum kecil yang hangat, diskusi santai, atau pertemuan kelas yang tidak kaku. Ketika orang tua merasa didengar, bukan dihakimi, mereka akan membuka diri dan hubungan menjadi lebih kuat.
Relasi yang sehat juga muncul ketika sekolah memberi ruang bagi wali murid untuk terlibat. Bukan sekadar hadir dalam rapat, tetapi ikut menjadi bagian dari proses belajar: mendukung proyek kelas, berkontribusi pada kegiatan sekolah, menjadi narasumber, atau sekadar menyambungkan program sekolah dengan kehidupan di rumah. Wali murid yang punya ruang peran akan merasa memiliki, bukan hanya memenuhi undangan.
Akhirnya, membangun relasi dengan wali murid adalah kerja kemanusiaan. Bukan urusan administrasi, bukan sekadar rutinitas lembaga. Ketika sekolah berbicara dengan hati, orang tua akan menjawab dengan hati. Ketika keduanya saling menghormati, perkembangan anak menjadi lebih kokoh, stabil, dan penuh makna.
Sekolah yang hebat bukan hanya yang kurikulumnya lengkap, tetapi yang mampu menjaga hubungan hangat dengan keluarga siswanya. Karena pendidikan sejati hanya bisa tumbuh ketika dua tangan bekerja bersama: tangan guru dan tangan orang tua.
—————————————————————————————————————-
📖 Disarikan dari Seri Sekolah Partisipatif, Kemitraan Sekolah & Wali Murid, karya Mustika Aji & Tim Guru Bina Insani (Yayasan Bina Insani Kebumen, 2025).
Baca Artikel lainnya,
Leave a Comment