(Dalam Perspektif Islam dan Realitas Pendidikan Indonesia)
Oleh Mustika Aji
1️⃣ Kritik Konseptual terhadap Pembelajaran Mendalam
a. Kabur secara Epistemologis dan Krisis Identitas Teoretis
Istilah Pembelajaran Mendalam (PM) atau Deep Learning terdengar modern dan menjanjikan, tetapi fondasi epistemologisnya masih rapuh. Di Indonesia, konsep ini kerap dipresentasikan sebagai turunan atau sintesis dari tiga teori besar:
Meaningful Learning (David Ausubel, 1968), Mindful Learning (Ellen Langer, 1989), dan Joyful Learning (Mihaly Csikszentmihalyi, 1990). Padahal, hubungan antara ketiganya tidak bersifat historis, melainkan hasil adaptasi eklektik yang muncul di ranah pelatihan dan kebijakan pendidikan mutakhir.
Ketiganya lahir dari paradigma yang berbeda, kognitivisme, psikologi sosial, dan humanistik dan tidak pernah dirumuskan bersama sebagai kerangka deep learning universal (seperti model 6C’s dari NPDL). Akibatnya, konsep “mendalam” di Indonesia menjadi kolase gagasan tanpa konsistensi epistemik, mudah diglorifikasi tetapi sulit dipraktikkan secara bermakna.
b. Kekacauan Kategori: Campur Aduk antara Tujuan dan Metode
Dalam banyak pelatihan, PM disajikan sekaligus sebagai tujuan pembelajaran (pencapaian pemahaman dan transfer pengetahuan) dan metode pelaksanaan (proyek, refleksi, kolaborasi). Padahal dalam logika ilmiah, tujuan (ends) dan sarana (means) harus dibedakan secara tegas. Akibat kaburnya batas ini, PM sering tereduksi menjadi kumpulan aktivitas kreatif tanpa intensitas berpikir yang seharusnya menandai kedalaman belajar. Akhirnya, “kedalaman” hanya tampak di laporan kegiatan, bukan di proses berpikir siswa.
c. Penggurusan Konsep: Simplifikasi Patologis
Kerangka meaningful, mindful, joyful sebetulnya punya potensi besar, tapi dalam praktik lapangan sering dipangkas secara dangkal. Meaningful dipersempit menjadi “relevan dengan kehidupan siswa”; Mindful direduksi menjadi “fokus dan tenang”; Joyful diartikan sekadar “belajar sambil bermain”.
Padahal makna asli ketiganya jauh lebih kompleks. Mindfulness misalnya, dalam gagasan Langer justru berangkat dari kritik terhadap otomatisasi berpikir (mindlessness), sementara meaningful learning Ausubel menekankan struktur kognitif yang terorganisir, bukan sekadar relevansi. Akibat simplifikasi ini, “pembelajaran mendalam” justru kehilangan kedalamannya sendiri, yang tersisa hanya jargon.
d. Ketersandungan Struktural: Mengabaikan Realitas Sosial-Administratif
Konsep PM sering diasumsikan dapat berhasil hanya dengan desain instruksional yang progresif. Kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia masih terperangkap dalam tekanan administratif yang berlebihan, kurikulum yang padat, dan evaluasi yang berorientasi angka.
Kedalaman berpikir tidak bisa tumbuh di tanah yang dangkal. Selama sistem menuntut laporan lebih banyak daripada refleksi, PM akan tetap menjadi gagasan indah di kertas, tapi hampa di kelas.
e. Tanpa Akar Budaya: Kehilangan Ruh dan Konteks
PM diadopsi dari paradigma pendidikan progresif Barat yang sangat individualistik. Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam dan budaya Nusantara, belajar bukan aktivitas soliter, melainkan proses sosial dan spiritual, ditempuh melalui relasi, keteladanan (uswah), dan penyucian diri (tazkiyatun-nafs). Tanpa menanamkan akar ini, PM menjadi konsep tanpa jiwa, tercerabut dari tanah tempat ia ingin tumbuh.
f. Definisi yang Mengambang: Indikator Epistemik Tidak Jelas
Pertanyaan mendasar: “Seberapa dalam dianggap mendalam?” PM gagal menjawab. Kedalaman tidak pernah didefinisikan secara operasional. Akibatnya, guru kesulitan menilai sejauh mana “pemahaman mendalam” tercapai, sementara kebijakan pendidikan terus mengandalkan dikotomi deep vs. surface yang usang dan kabur.
g. Risiko Pseudo-Transformatif
PM dijual sebagai revolusi pedagogik, tapi tanpa perubahan struktural dan kebijakan evaluasi, yang berubah hanya istilah. Guru sibuk melaporkan kegiatan “mendalam” tanpa ruang refleksi sejati. Transformasi berhenti di PowerPoint, bukan di kesadaran guru dan siswa.
2️⃣ Reformulasi Konseptual: Pembelajaran Mendalam Berbasis Nilai Islam dan Realitas Indonesia
Untuk menutup kekosongan epistemik dan menghindari imitasi konsep Barat, pembelajaran mendalam perlu direformulasi dari akar spiritual dan sosialnya. Reformulasi ini berpijak pada gagasan Tafaqquh, sebuah paradigma belajar yang memadukan pemahaman mendalam dengan kesadaran tauhidi, adab, dan kemaslahatan.
A. Landasan Epistemologis: Dari Kognitif ke Kesadaran Tauhidi (Tauhidic Consciousness)
Dalam Islam, kedalaman ilmu bukan diukur dari kompleksitas berpikir, tetapi dari kesadaran untuk mengaitkan pengetahuan dengan iman dan amal. “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir: 28).
Reformulasi: Pembelajaran mendalam adalah proses menumbuhkan kesadaran tauhidi, menghubungkan pengetahuan dengan makna eksistensial, nilai moral, dan tanggung jawab kepada Allah, sesama manusia, serta alam.
B. Tujuan: Dari Berpikir Kritis ke Beramal Saleh dan Berhikmah
Ilmu sejati adalah yang berbuah amal. Al-‘ilm bilā ‘amal kasy-syajari bilā ṯamar, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.
Reformulasi:
Tujuan pembelajaran mendalam ialah membentuk insan yang berpikir kritis, berperilaku etis, dan beramal produktif untuk menciptakan kemaslahatan (maṣlaḥah).
C. Proses: Dari Individualistik ke Partisipatif-Kolektif
Ilmu dalam tradisi Islam tumbuh di majlis, dalam dialog dan musyawarah.
Reformulasi: Pembelajaran mendalam harus partisipatif dan kolaboratif, dibangun melalui musyawarah, kerja bersama, dan keterlibatan sosial yang otentik dalam kehidupan nyata.
D. Pilar Meaningful Learning: Makna Eksistensial dan Adabi
Ausubel bicara tentang keterhubungan konsep; Islam menambahkan dimensi eksistensial dan moral. “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 5)
Reformulasi:
Belajar bermakna adalah proses memahami tujuan hidup, tanggung jawab moral, dan manfaat sosial, bukan sekadar relevansi kognitif. Contohnya, belajar tentang air tidak berhenti pada siklus hidrologi, tapi menumbuhkan kesadaran menjaga amanah Allah terhadap sumber kehidupan.
E. Pilar Mindful Learning: Muraqabah dan Ihsan
Mindfulness tidak berhenti pada kesadaran diri, tapi naik kelas menjadi kesadaran Ilahiah (muraqabah). “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya…” (HR. Muslim)
Reformulasi:
Belajar dengan kesadaran penuh (mindful) berarti hadir dengan hati, jujur, sabar, dan beradab karena sadar bahwa ilmu adalah amanah.
Contohnya, siswa menjaga kejujuran dalam eksperimen karena tahu Allah Maha Menyaksikan, bukan sekadar demi nilai sempurna.
F. Pilar Joyful Learning: Syukur dan Ladẓah al-‘Ilm
Kegembiraan sejati dalam belajar bukan hiburan, tapi kenikmatan ruhani karena menunaikan amanah ilmu. “Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Reformulasi:
Joyful learning berarti menemukan kebahagiaan dalam proses belajar yang disertai rasa syukur, cinta ilmu, dan semangat ihsan, bukan sekadar suasana “seru” di kelas.
G. Konteks Sosial: Dari Kelas ke Kehidupan
Ilmu yang mendalam harus membumi, tidak mengawang.
Reformulasi:
PM harus mengaitkan ilmu dengan persoalan nyata di masyarakat agar siswa belajar memahami, merasakan, dan menyelesaikan masalah sosial secara partisipatif.
H. Evaluasi: Dari Angka ke Adab dan Integritas
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Reformulasi:
Evaluasi pembelajaran mendalam bersifat holistik, menilai bukan hanya capaian kognitif, tapi juga proses, kejujuran, dan niat baik. Penilaian adalah ruang refleksi, bukan sekadar angka.
I. Identitas Nasional: Sintesis Nilai Lokal
Reformulasi:
Pembelajaran mendalam di Indonesia harus menjadi sintesis nilai Tauhid (spiritual), Adab (moral), dan Gotong Royong (sosial) membangun ilmu yang tumbuh dari bumi sendiri dan membawa manfaat bagi semesta (raḥmatan lil-‘ālamīn).
🌾 Rumusan Utuh (Definisi Reformulatif)
Pembelajaran Mendalam (Tafaqquh) adalah proses menumbuhkan Kesadaran Tauhidi melalui pembelajaran yang Meaningful (bermakna secara eksistensial dan sosial), Mindful (penuh adab dan kesadaran Ilahiah), serta Joyful (menyenangkan karena bersumber dari syukur dan ladẓah al-‘ilm), sehingga melahirkan insan berilmu yang beramal saleh, beradab, dan membawa kemaslahatan bagi kehidupan.
💡 Penutup
Pembelajaran mendalam dalam kebijakan nasional masih terjebak dalam bahasa psikologi Barat yang kognitif dan instrumentalis. Reformulasi berbasis tafaqquh ini menegaskan:
Ilmu yang mendalam bukan yang banyak diketahui, tetapi yang mengubah cara manusia memandang hidup dan menegakkan kebenaran di dalamnya.
Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
Leave a Comment