School Info
Saturday, 01 Nov 2025
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2025" 🇮🇩✨ "Semoga semangat para santri dalam mencintai agama dan tanah air terus menginspirasi kita untuk berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan menebar keberkahan di setiap langkah." Aamiin. 🌸
  • 🕌 Kami segenap Tim Departemen Media & Publikasi Yayasan Bina Insani Kebumen mengucapkan: "Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2025" 🇮🇩✨ "Semoga semangat para santri dalam mencintai agama dan tanah air terus menginspirasi kita untuk berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan menebar keberkahan di setiap langkah." Aamiin. 🌸
25 October 2025

Sekolah Partisipatif: Menyalakan Api SDM Unggul 2045

Sat, 25 October 2025 Read 192x Artikel
1
0
Share this post

oleh : Mustika Aji

Kita bicara banyak tentang Indonesia Emas 2045, tapi mari jujur: berapa banyak sekolah yang benar-benar hidup, yang menghidupkan manusia, bukan sekadar menjalankan perintah kurikulum?

Visi besar itu tak akan lahir dari ruang kelas yang sunyi, papan tulis penuh debu, dan rapat guru yang hanya membahas absen. Indonesia Emas butuh sekolah yang bernyawa, sekolah yang membuka ruang dialog, partisipasi, dan keberanian berpikir.

Itulah makna Sekolah Partisipatif: tempat di mana anak belajar dengan akal dan hati, guru bertumbuh bersama murid, dan masyarakat ikut menentukan arah pendidikan. Di sini, pendidikan bukan transmisi pengetahuan, tapi proses memanusiakan manusia.

Dr. Dadang Solihin (Lemhannas RI, 2025) mengingatkan, pendidikan nasional hanya akan kuat jika berdiri di atas empat pilar: akses berkeadilan, mutu holistik, relevansi pembangunan nasional, dan tata kelola partisipatif-akuntabel. Pilar terakhir sering paling lemah, padahal justru di sanalah fondasi peradaban dibangun. Tanpa partisipasi warga sekolah, akuntabilitas hanyalah dokumen tebal yang tak menyentuh nurani.

Data Bappenas (2024) menunjukkan, lebih dari separuh siswa Indonesia masih memiliki kemampuan literasi di bawah standar PISA. Kita bukan sekadar tertinggal secara akademik, tapi terperangkap dalam sistem yang tak memberi ruang berpikir dan berpendapat. Sekolah kita terlalu sibuk “mengejar target”, tapi lupa bertanya: apa sebenarnya yang ingin kita tumbuhkan dari anak-anak ini?

Sekolah Partisipatif menawarkan jalan berbeda. Di sini, guru bukan pelaksana juknis, tapi fasilitator perubahan. Murid bukan penerima instruksi, tapi pencipta makna. Orang tua dan masyarakat bukan penonton di luar pagar, tapi mitra sejajar dalam menyusun rencana dan mengevaluasi pembelajaran.

Bayangkan rapat sekolah yang dihadiri guru, siswa, dan orang tua, bukan sekadar laporan kegiatan, tapi forum untuk menilai: apakah sekolah kita masih relevan dengan kehidupan anak-anak?
Bayangkan kepala sekolah yang membuka papan anggaran di ruang publik, agar semua tahu ke mana uang pendidikan mengalir.

Bayangkan anak-anak yang merancang proyek sosialnya sendiri: menanam pohon, mengelola bank sampah, membuat buletin sekolah yang kritis tapi santun.
Itulah pendidikan yang berdenyut, yang menyalakan karakter, tanggung jawab, dan daya cipta.

Dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025–2045, Bappenas menegaskan bahwa pendidikan harus kontekstual dan berakar pada budaya lokal. Sekolah partisipatif menjawabnya dengan cara paling sederhana tapi mendasar: menghidupkan nilai gotong royong, musyawarah, dan solidaritas di ruang belajar. Anak belajar berpikir global tanpa kehilangan pijakan lokal.
Pendidikan di sini bukan sekadar cara masuk universitas, tapi cara menjadi manusia yang berguna.

Dr. Dadang menyebut, pendidikan adalah strategi kebudayaan untuk memperkuat identitas nasional. Sekolah partisipatif adalah bentuk paling konkret dari strategi itu, laboratorium kecil demokrasi yang menumbuhkan kepemimpinan, toleransi, dan keberanian moral sejak dini.
Karena pendidikan sejati tak hanya melahirkan pekerja, tapi membentuk warga yang sadar tanggung jawab sosialnya.

Bonus demografi yang akan datang, 191 juta penduduk produktif di 2035, bisa menjadi berkah atau kutukan. Tanpa partisipasi dan pendidikan yang membebaskan, kita hanya akan memiliki tenaga kerja, bukan warga negara. Tapi dengan sekolah partisipatif, kita menyiapkan generasi yang tidak menunggu disuruh, melainkan mampu memimpin dengan nurani.

Maka, jika Indonesia ingin benar-benar emas di 2045, revolusi itu tak perlu dimulai dari istana, cukup dari kelas yang terbuka, tempat guru mau mendengar, siswa berani bicara, dan orang tua ikut berpikir. Karena masa depan bangsa ini bukan ditentukan oleh rapat besar, tapi oleh cara kita belajar bersama hari ini.

Referensi:

  1. Dadang Solihin, Transformasi Pendidikan untuk Mewujudkan SDM Unggul 2045, Lemhannas RI, 2025.
  2. Bappenas, Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025–2045, Kementerian PPN/Bappenas, 2024.
  3. Mustika Aji, Seri Panduan Sekolah Partisipatif (Seri Sekolah Partisipatif, 2025).
  4. OECD, Education at a Glance 2019, OECD Publishing, Paris.
  5. UNESCO, Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education, 2021.

“Bangsa yang besar bukan yang paling cepat mengajar, tapi yang paling berani mendengarkan warganya belajar.”

___________________________________________________________________

✍️ Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)

Baca Artikel lainnya,

© 2025

Departemen Media dan Publikasi

YAYASAN BINA INSANI KEBUMEN


Share this post
This article have

0 Comment

Leave a Comment