oleh : Mustika Aji
Di berbagai daerah, terutama di pedesaan, terdapat fenomena yang jarang dibicarakan namun berdampak langsung terhadap kualitas pendidikan: sekolah semakin jauh dari masyarakat tempat ia berdiri. Ia hadir secara fisik di tengah desa, tetapi tidak benar-benar menjadi bagian dari denyut kehidupan desa tersebut. Relasi sosial yang seharusnya menguatkan pendidikan justru melemah, dan sekolah kehilangan akar yang mestinya menjadi sumber relevansi sekaligus legitimasinya.
Di ruang kelas, anak-anak diajarkan mengenai struktur pemerintahan pusat, lembaga negara, serta konsep demokrasi nasional. Namun pada saat yang sama, mereka tidak mengenal Ketua RT, tidak memahami fungsi BPD, tidak mengetahui bagaimana musyawarah desa berlangsung, dan bahkan tidak akrab dengan tokoh masyarakat yang sebenarnya berperan langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pelajaran kewarganegaraan menjadi abstrak, jauh dari realitas sosial yang mereka temui sepulang sekolah.
Ini bukan sekadar kekurangan kurikulum. Ini cermin dari sekolah yang tercerabut dari konteks sosialnya.
Ketika Administrasi Mengalahkan Relasi
Sekolah hari ini dihadapkan pada beban administrasi dan regulasi yang tidak ringan. RKS, RKAS, Dapodik, laporan SPJ, dan berbagai dokumen lain menyita energi besar guru dan kepala sekolah. Dalam situasi seperti ini, interaksi dengan masyarakat sering dianggap prioritas kesekian. Hubungan sekolah–desa akhirnya bersifat seremonial: hadir saat undangan, meminta tanda tangan, atau berkoordinasi ketika ada kebutuhan administratif.
Padahal pendidikan tidak pernah dimaksudkan hanya sebagai pengelolaan dokumen. Ia adalah proses sosial yang memerlukan keterlibatan banyak pihak. Ketika sekolah tidak menyempatkan diri memahami dinamika kampung tempat siswa tinggal, maka pendidikan kehilangan konteks, kehilangan arah, dan pada akhirnya kehilangan relevansinya.
Potensi Besar di Depan Mata yang Diabaikan
Masyarakat sebenarnya memiliki potensi luar biasa untuk memperkaya proses belajar. Ketua RT dapat menjadi narasumber praktik demokrasi lokal. BPD dapat menjadi ruang belajar tata kelola desa. Bidan desa dapat memberikan pendidikan kesehatan remaja. Petani dapat mengajarkan sains tanah, musim, dan pangan. Tokoh agama dapat menguatkan adab dan karakter. Karang taruna dapat mendampingi kegiatan kepemudaan yang konstruktif.
Sayangnya, potensi ini sering tidak dimanfaatkan. Sekolah kerap merasa cukup dengan buku teks dan modul resmi. Akibatnya anak-anak belajar dari sumber-sumber yang jauh, padahal sumber belajar terdekat lingkungan sosial mereka sendiri justru paling relevan dan mudah diakses.
Dampak Jangka Panjang: Pengetahuan Tinggi, Kepedulian Rendah
Ketika sekolah dan masyarakat berjalan sendiri-sendiri, anak-anak tumbuh dalam dua dunia yang terpisah. Mereka menguasai konsep, tetapi kurang memahami konteks. Mereka mengenal teori, tetapi tidak memiliki pengalaman sosial yang memadai. Mereka pandai di atas kertas, tetapi kikuk menghadapi persoalan lokal di kampungnya sendiri.
Inilah konsekuensi jangka panjang dari sekolah yang tercerabut: generasi yang terdidik, tetapi tidak terhubung; cerdas, tetapi tidak membumi.
Saatnya Sekolah Kembali ke Akar Sosialnya
Sekolah harus kembali menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ini bukan sekadar kerja sama formal, tetapi kerja kolaboratif yang berkelanjutan. Sekolah perlu membuka ruang bagi tokoh desa, mengintegrasikan konteks lokal dalam pembelajaran, mengajak masyarakat berdialog mengenai isu pendidikan, serta membangun jembatan komunikasi yang hidup antara sekolah dan warga.
Langkah ini tidak hanya memperkaya proses belajar, tetapi juga memperkuat posisi sekolah sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat. Pendidikan baru dapat berjalan efektif apabila lingkungan sosial turut menjadi ekosistem pendukungnya.
Sekolah tidak boleh berdiri sebagai menara gading. Ia harus kembali menjejak tanah tempat ia didirikan. Karena pendidikan yang kuat lahir dari hubungan yang kuat antara sekolah, siswa, dan masyarakat.
——————————————————————————————————————–
Penulis: Mustika Aji, S.Pd.
(Aktivis dan Tokoh Masyarakat Kebumen)
Baca Artikel lainnya,
Leave a Comment